DICARI PEREMPUAN PELAGA!
(Upaya Membingkai Potret Kepahlawanan)
“Saya ingin memproklamirkan kepada para perempuan bahwa dirinya memiliki hak yang tidak bisa digugurkan, meskipun yang berusaha menggugurkannya adalah bapak kandung kita sendiri.” Begitu kira-kira pesan seorang perempuan menegaskan sebuah nilai luhur kemanusiaan yang diyakini dari dalam lubuk hatinya. Keyakinan yang selama ini terus terpendam sampai suatu ketika membuncah, memanifestasikan diri dalam bentuk pengaduan kepada Rasulullah yang kemudian mendukung dan membenarkan keyakinan tersebut. Seorang perempuan yang entah siapa namanya, namun tiba-tiba muncul dalam sosok yang tidak akan pernah dilupakan dalam dunia intelektual dan yudisial Islam. Sosok yang seharusnya juga tak akan pernah terlupakan dalam kancah perjuangan perempuan dalam upaya mempertegas haknya. Agar mudah mengingatnya, sebut saja dia “Gadis”, seorang perempuan yang hidup di masa kenabian, seorang sahabati yang telah berani mendobrak tembok kepasrahan dan kemenyerahan dari cengkraman budaya yang menghimpitnya.
Sekilas, dilihat dari kasusnya, peristiwa yang dialami Gadis tersebut itu bukanlah hal yang istimewa. Ia hanya peristiwa yang biasa-biasa saja, bahkan bisa jadi peristiwa itu telah dan terus terjadi dimana-mana hingga saat ini. Barangkali, kita pernah mengalaminya, atau pasti pernah mengalaminya meski dalam kasus yang berbeda, namun memiliki kesamaan makna, yaitu “penolakan hati atas sesuatu yang tidak kita sukai”. Hal itu tampaknya merupakan bagian dari fitrah manusia.
Yang menjadikan kasus Gadis di atas terasa istimewa adalah legalitas dan dukungan kenabian, yang ini berarti menunjukkan “kesyariatan” ganjalan hatinya. Inilah yang tampaknya sangat menggembirakan hati si Gadis dan selanjutnya dengan bangga memproklamirkan ucapannya, “saya ingin memberitahu kepada para perempuan” bahkan dalam riwayat lain, ucapan proklamasi itu adalah “saya ingin mengajarkan kepada para perempuan”.
Nah, perempuan! Sudahkah kita menerima dan memahami ajaran tersebut? Pernahkah kita melaksanakan ajaran itu? Sebuah ajaran yang menuntut seorang perempuan cerdas dan sadar, bukan saja pada kewajiban-kewajiban yang harus dipenuhinya tetapi juga pada hak-hak yang menjadi miliknya.
Seorang perempuan yang hidup dalam kemapanan budaya perjodohan orang tua, namun tak serta merta menghilangkan kesadaran akan hak dirinya, hak seorang perempuan untuk bisa memilih pasangan hidup sesuai keinginan dan kecenderungan hatinya. Hak yang dilaksanakan secara sadar dengan pondasi kerelaan hati, bukan pada paksaan atau tuntutan orang lain.
Seorang perempuan yang hidup dalam kemapanan budaya dan nilai luhur penghormatan serta ketaatan seorang anak kepada orang tua; yang kental dengan nilai kewajiban berbakti kepada ibu-bapak, namun tidak serta merta meluruhkan identitas dan jati dirinya sebagai manusia lalu tenggelam menjadi identitas dan jati diri orang lain, entah itu orang tua sendiri atau siapa pun selain diri sendiri. Namun, pada saat yang sama, ia juga menyadari semua tuntutan nilai dan kewajiban ini, lalu secara cerdas menentukan pilihan. Memilih menuntut hak atau membayar kewajiban. Pilihan yang tidak gampang, meskipun secara kontras antara hak dan kewajiban mudah dibedakan karena keduanya saling bertolak belakang. Secara lahiriah, menuntut hak berarti meraih kemanfaatan atau keuntungan untuk diri sendiri sementara membayar kewajiban berarti memberikan kemanfaatan atau keuntungan kepada orang lain, yang mana kemanfaatan atau keuntungan tersebut diambil dari diri kita. Nah, bagi mereka yang menjunjung tinggi budipekerti, tentu saja, membayar kewajiban akan menjadi prioritas utama sebelum dengan segala kerendahan hati menuntut haknya dipenuhi.
Kembali pada kasus seorang Gadis di atas—yang mengadukan perbuatan bapaknya yang ingin menikahkannya tanpa persetujuan darinya—kepada Nabi, mungkin, terasa dilematis. Karena pada akhirnya, toh, ia menerima perlakuan sang orang tua. Lantas apa gunanya ia mengadu kepada Nabi? Apa bedanya bagi perempuan antara mengetahui dan tidak mengetahui haknya jika hasil akhirnya sama saja—dalam kasus ini–“menerima pilihan orang tua”?
Bedanya akan sangat tampak pada kesadaran. Kesadaran inilah yang menjadi dasar bagi setiap langkah berikutnya. Langkah terarah yang dibimbing kesadaran, bukan langkah zig-zag yang kehilangan arah karena pemilik langkah mabok, hilang kesadaran atau yang lebih celaka, karena pemilik langkah bodoh, tidak mengetahui jalan sebenarnya yang harus ditempuh.
Orang yang sadar bahwa dirinya memiliki hak dan sadar pula bahwa dirinya memiliki kewajiban, maka ia akan bisa membuat keputusan dengan benar. Ia bisa menentukan mana yang harus dipilih. Masing-masing pilihan memiliki konsekuensi secara langsung bagi dirinya dan bagi langkah berikutnya. Jika ia memilih haknya dengan mengabaikan kewajibannya, maka dirinya harus siap dengan segala macam ancaman yang berusaha menghalangi dan merampas hak tersebut. Jika ia lebih memilih kewajibannya dengan mengabaikan hak, maka dirinya harus telah siap dengan segala beban perasaan yang harus ditanggungnya.
Jika ia menyadari beratnya beban kewajiban, namun tetap melaksanakannya dengan penuh ikhlas dan kesungguhan maka bagi orang yang mengutamakan membayar kewajiban akan selalu mendapatkan imbalan. Paling tidak, imbalan itu berupa perasaan tidak bersalah terhadap orang lain meski harus dibayar dengan perasaan bersalah pada diri sendiri. Terlebih jika ia menyadari bahwa Tuhan maha mengetahui dan Dia tidak akan menyia-nyiakan amal bakti seorang hamba. Kewajiban adalah sesuatu yang harus kita penuhi sementara hak adalah suatu pilihan, boleh kita tuntut dan gunakan, pun boleh kita gugurkan dan abaikan.
Orang yang sadar bahwa dirinya memiliki hak dan kewajiban dan mampu mensinkronkan antara keduanya maka ia adalah manusia yang sempurna, cita-cita puncak yang senantiasa akan kita perjuangkan agar bisa tercapai.
Sebuah perjuangan berat, perjuangan yang tak akan pernah berhenti dan dengan sendirinya perjuangan ini membutuhkan pahlawan-pahlawan tangguh yang mampu menggugah kesadaran dan keberanian kita untuk mengantarkan pada cita-cita luhur tersebut. Seorang Gadis, meski namanya tak dikenal luas, telah memulai. Tidakkah kita ingin menyusul?!
Menyusul?! Memangnya kita ini siapa, apa yang kita mampu?
Barangkali itu bentuk pertanyaan yang tidak perlu, karena toh sosok Gadis diatas bukanlah tokoh terkenal yang memiliki banyak kelebihan.
***
Gampang diucapkan susah dilakukan, itu adalah problema umum yang kita hadapi bersama. Tapi kita harus berusaha. Seorang Gadis tidak berhenti pada memendam keyakinannya, tapi membawanya ke hadapan Nabi untuk memberi penilaian benar dan salahnya keyakinan terpendam itu. Maka kita pun tak cukup dengan memendam keyakinan dalam memperjuangkan cita-cita, tapi perlu mengemukakan keyakinan tersebut untuk mendapat penilaian benar dan salahnya keyakinan kita dari sebanyak ahli.
Pengungkapan ini penting dilakukan sebelum keyakinan kita terhadap suatu nilai memanifestasi dalam sebuah perjuangan. Karena jika kita ternyata keliru sejak dalam tahap awal, tahap meyakini nilai, maka perjuangan kita selanjutnya akan sia-sia. Ia tidak akan menghantarkan kita pada cita-cita luhur yang diidamkan. Ia juga tidak akan melahirkan pahlawan-pahlawan sejati, tapi yang muncul adalah para pengkhianat dan penghancur nilai-nilai luhur yang seharusnya dipertahankan.
Nah, jika semua yang gigih memperjuangkan nilai kebenaran pantas disebut pahlawan maka Gadis tak dikenal, tokoh dalam tulisan ini pun sudah seharusnya disebut sebagai pahlawan. Benar, ia bukan seorang pahlawan dalam artian pejuang patriotik pembela negara, tapi ia adalah seorang pahlawan pembela kebenaran, pembela hak perempuan. Seorang pahlawan besar, bukan?! Seorang pejuang hak yang benar, hak yang disyariatkan.
Akhirnya, ada satu hal yang perlu kita garisbawahi untuk membingkai seseorang itu masuk dalam barisan pahlawan atau bukan, yaitu kebenaran. Kebenaranlah yang menjadi ukuran, karena setiap usaha maupun perjuangan yang mengabaikan nilai kebenaran pada hakekatnya adalah kesia-siaan, bahkan pelanggaran dan penodaan terhadap kehormatan dan keluhuran manusia itu sendiri. Untuk itu, satu nilai yang tak bisa dipisahkan dalam menentukan seseorang itu termasuk pahlawan atau bukan adalah kebenaran itu sendiri. Dari situlah muara segala kebaikan. Sesuatu yang benar akan selalu berakhir pada kebaikan meskipun jalan yang ditempuhnya harus berliku-liku.
Segala sikap maupun perilaku yang didasari kebenaran
akan melahirkan kebesaran, keluhuran dan keteladanan yang tak akan pernah pupus dan lekang oleh zaman. Hendaklah kita lebih jeli agar mampu mengenali dan membedakan antara kebenaran dan kepentingan, lalu berdasarkan itu kita berjuang sampai titik penghabisan. Kita tidak harus menjadi jenderal untuk memperpanjang barisan pahlawan, bukan?! Selamat Berjuang, Pahlawan!
*Tulisan ini dalam rangka memeriahkan Hari Pahlawan, sebulan lalu (dah basi ya! :-D)
untuk memenuhi permintaan teman-teman Fatayat Cairo.